Minggu, 11 November 2018

Aspek Hukum Dalam Pembangunan Part 2








4.            PENYUSUNAN ANGGARAN PERUSAHAAN DAN/ATAU ANGGARAN PROYEK PEMBANGUNAN
Penyusunan anggaran merupakan proses pembuatan rencana kerja dalam rangka waktu satu tahun, yang dinyatakan dalam satuan moneter dan satuan kuantitatif orang lain. Penyusunan anggaran sering diartikan sebagai perencanaan laba (proft planing). Dalam perencanaan laba, manajemen menyusun rencana operasional yang implikasinya dinyatakan dalam laporan laba rugi jangka pendek dan jangka panjang, neraca kas dan modal kerja yang diproyeksikan dimasa yang akan datang.
Untuk melukiskan anggaran dan proses penyusunan anggaran, layaknya sebagai suatu proyek pembangunan gedung berlantai tiga puluh. Untuk membangun gedung tersebut diperlukan waktu tiga tahun. Gedung tersebut akan dibangun berdasarkan cetak biru (blue print) dan berdasarkan rencana biaya yang dibuat oleh arsitek. Setiap bulan dibuat anggaran biaya untuk pedoman dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan setiap bagian gedung tersebut, sehingga keseluruhan pekerjaan gedung tersebut dapat terlaksana sesuai dengan blue print yang telah dibuat dengan rencana biaya yang telah disusun sebelum proyek dilaksanakan.
Pengelolaan perusahaan tidak jauh berbeda dengan pengelolaan suatu proyek pembangunan gedung yang dijelaskan diatas. Untuk jangka waktu tertentu, misalnya lima sampai sepuluh tahun, manajemen puncak menetapkan kearah mana perusahaan akan dijalankan. Manajemen puncak menyusun semacam blue print tentang kondisi yang akan dicapai perusahaan dalam jangka panjang. Blue print ini berupa program jangka panjang yaitu pangsa pasar, produk dan teknologi produksi, keuangan, kepegawaian, citra perusahaan, sistem inforrnasi manajemen, budaya perusahaan dan lain sebagainya. Manajemen mengalokasikan sumber daya yang ada untuk setiap program yang disusunnya. Untuk menjamin terlaksananya program tersebut, manajemen menyusun anggaran yang berisi rencana kerja tahunan dan taksiran nilai sumber daya yang diperlukan untuk pelaksanaan rencana kerja tahunan dan taksiran nilai sumber daya yang diperlukan untuk pelaksanaan rencana kerja tersebut. Dalam proses penyusunan anggaran tersebut, ditunjuk manajer yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan rencana kerja dan dialokasikan berbagai sumber daya yang diperlukan kepada manajer yang bersangkutan. Anggaran menjamin pelaksanaan rencana kerja dengan biaya yang sesuai dengan yang direncanakan dalam anggaran. Dengan demikian penyusunan anggaran dimaksudkan untuk memberikan jaminan pencapaian blue print tentang program  jangka panjang, yang mencakup pangsa pasar, produk dan teknologi produksi, kepegawaian, keuangan, citra perusahaan, sistem informasi manajemen, budaya perusahaan dengan biaya sesuai dengan yang dianggarkan sebelumnya.
Anggaran disusun oleh manajemen dalam jangka waktu satu tahun membawa perusahaan ke kondisi tertentu yang diinginkan dengan sumber daya yang diperkirakan. Dengan anggaran, manajemen mengarahkan jalannya perusahaan kesuatu kondisi tertentu. Mungkinkah perusahaan dijalankan berdasarkan anggaran yang dibuat tidak berdasarkan program jangka panjang? Mungkin saja manajemen hanya menyusun anggaran tahunan, tidak menyusun anggaran jangka panjang. Dalam hal demikian, daIam jangka panjang perusahaan sebenarnya tidak berjalan kearah manapun. Kalau misalnya setelah lima tahun perusahaan semacam ini mencapai posisi persaingan sebagai market leader, pencapaian posisi bukan hasil suatu usaha yang terencana, namun lebih sebagai suatu kebetulan.
Proses penyusunan anggaran merupakan proses penyusunan rencana jangka pendek, yang dalam perusahaan berorientasi laba, pemilihan rencana didasarkan atas dampak rencana kerja tersebut terhadap laba. Oleh karena itu sering sekali proses penyusunan anggaran sering sekali disebut sebagai penyusunan rencana laba  jangka panjang (short-run profit planning). Untuk memungkinkan manajemen puncak melakukan pemilihan rencana kerja yang berdampak baik terhadap laba, manajemen menggunakan teknik analisa biaya-volume dan laba. Dalam analisis biaya-volume dan laba ini, informasi akuntansi diffirensial memungkinkan manajemen untuk melakukan pemilihan berbagai altematif kerja yang akan dicantumkan dalam anggaran.
Setelah suatu rencana kerja dipilih untuk mencapai sasaran anggaran, manajer yang berperan untuk melaksanakan rencana kerja tersebut memerlukan sumber daya, untuk memungkinkannya mencapai sasaran anggaran.

4.1                 Prinsip Penyusunan Anggaran Perusahaan
Anggaran merupakan sejumlah uang yang dihabiskan dalam periode tertentu untuk melaksanakan suatu program. Tidak ada satu perusahaan pun yang memiliki anggaran yang tidak terbatas, sehingga proses penyusunan anggaran menjadi hal penting dalam sebuah proses perencanan. Penganggaran adalah proses untuk mempersiapkan anggaran.
Aspek anggaran sector public: 
·           Perencanaan 
·           Pengendalian
·           Akuantabilitas
Tahapan Penyusunan: 
·           Tahap persiapan anggaran 
·           Tahapan ratifikasi
·           Tahapan implementasi
·           Tahapan pelaporan dan evaluasi
Proses penyusunan anggaran di bagi menjadi 2, yakni dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.
1.       Dari Atas ke Bawah
Merupakan proses penyusunan anggaran tanpa penentuan tujuan sebelumnya dan tidak berlandaskan teori yang jelas. Proses penyusunan anggaran dari atas ke bawah ini secara garis besar berupa pemberian sejumlah uang dari pihak atasan kepada para karyawannya agar menggunakan uang yang diberikan tersebut untuk menjalankan sebuah program. Terdapat 5 metode penyusunan anggaran dari atas ke bawah:
a.      Metode kemampuan adalah metode dimana perusahaan menggunakan sejumlah uang yang ada untuk kegiatan operasional dan produksi tanpa mepertimbangkan efek pengeluaran tersebut.
b.      Metode pembagian semena-mena merupakan proses pendistribusian anggaran yang tidak lebih baik dari metode sebelumnya. Metode ini tidak berdasar pada teori, tidak memiliki tujuan yang jelas, dan tidak membuat konsep pendistribusian anggaran dengan baik.
c.     Metode persentase penjualan menggambarkan efek yang terjadi antara kegiatan iklan dan promosi yang dilakukan dengan persentase peningkatan penjualan di lapangan. Metode ini mendasarkan pada dua hal, yaitu presentase penjualan dan sejumlah pengembalian yang diterima dari aktivitas periklanan dan promosi yang dilakukan.
d.     Melihat pesaing karena sebenarnya tidak ada perusahaan yang tidak mau tahu akan keadaan pesaingnya. Tiap perusahaan akan berusaha untuk melakukan promosi yang lebih baik dari para pesaingnya dengan tujuan untuk menguasai pangsa pasar.
e.  Pengembalian investasi (Return of investment) merupakan pengembalian keuntungan yang diharapkan oleh perusahaan terkait dengan sejumlah uang yang telah dikeluarkan untuk iklan dan aktivitas promosi lainnya. Sesuai dengan arti katanya, investasi berarti penanaman modal dengan harapan akan adanya pengembalian modal suatu hari

2. Dari Bawah ke Atas
Merupakan proses penyusunan anggaran berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan anggaran ditentukan belakangan setelah tujuan selesai disusun.Proses penyusunan anggaran dari bawah ke atas merupakan komunikasi strategis antara tujuan dengan anggaran. Terdapat 3 metode dasar proses penyusunan anggaran dari bawah ke atas, yakni:
1)        Metode tujuan dan tugas (Objective and task method) dengan menegaskan pada penentuan tujuan dan anggaran yang disusun secara beriringan. Terdapat 3 langkah yang ditempuh dalam langkah ini, yakni penentuan tujuan, penentuan strategi dan tugas yang harus dikerjakan, dan perkiraan anggaran yang dibutuhkan untuk mencapai tugas dan strategi tersebut.
2)        Metode pengembalian berkala (Payout planning) menggunakan prinsip investasi dimana pengembalian modal diterima setelah waktu tertentu.Selama tahun pertama, perusahaan akan mengalami rugi dikarenakan biaya promosi dan iklan masih melebihi keuntungan yang diterima dari hasil penjualan, Pada tahun kedua, perusahaan akan mencapai titik impas (break even point) antara biaya promosi dengan keuntungan yang diterima. Setelah memasuki tahun ketiga, barulah perusahaan akan menerima keuntungan penjualan. Strategi ini hasilnya dirasakan dalam jangka panjang.
3)        Metode perhitungan kuantitatif (Quantitative models) menggunakan sistem perhitungan statistik dengan mengolah data yang dimasukkan dalam komputer dengan teknik analisis regresi berganda (multiple regression analysis). Metode ini jarang digunakan karena kompleks dalam pemakaiannya.

Alokasi Anggaran
Setelah mengetahui berapa anggaran yang dibutuhkan untuk melaksanakan program, hal selanjutnya adalah bagaimana mengalokasikan anggaran yang tersedia. Mengalokasikan anggaran berarti melakukan pembagian dana secara sistematis berdasarkan keseluruhan anggaran yang dimiliki perusahaan untuk melangsungkan program tersebut. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengalokasian anggaran mencakup potensial pasar, ukuran dan segmen pasar, kebijakan perusahaan, skala ekonomi periklanan, dan karakteristik perusahaan.
Alokasi anggaran tersebut juga masuk ke dalam anggaran yang di gunakkan untuk pemilu atau sesuatu hal yang berhubungan dengan politik,walaupun banyak penyimpangan yang terjadi.Sehingga hal ini membuktikan bahwa pengalokasian anggaran yang tidak berjalan sesuai tujuan yang sudah di tentukkan.

4.2                 Administrasi dalam Anggaran
Ada beberapa tahap yang harus dilalui dalam penyusunan anggaran (budgeting)  agar anggaran tersebut dapat digunakan oleh organisasi atau instansi. Tahapan tersebut antara lain
1. Penentuan Pedoman Anggaran
Anggaran yang akan dibuat pada tahun akan datang sebaiknya disiapkan disiapkan beberapa bulan sebelum tahun anggaran berikutnya dimulai. Sebelum penyusunan anggaran, terlebih dahulu manajemen puncak melakukan dua hal yaitu:
a.   Menetapkan rencana besar perusahaan, seperti tujuan, kebaikan dan asumsi sebagai dasar penyusunan anggaran.
b.        Membentuk panitia penyusun anggaran. 

2.         Persiapan Anggaran
Dalam persiapan anggaran bagian-bagian yang terkait dengan anggaran mengadakan rapat untuk membuat suatu anggaran, dalam pembuatan suatu anggaran ditentukan juga ramalan penjualan setelah penyusunan ramalan penjualan bagian pemasaran bekerja sama dengan manajer umum dan manajer keuangan untuk menyusun anggaran:
a.         Anggaran penjualan.
b.        Anggaran bebas penjualan.
c.         Anggaran piutang usaha.
Setelah itu manajer produksi bekerja sama dengan manajer keuangan dan umum untuk menyusun:
a.         Anggaran produksi.
b.        Anggaran biaya pabrik.
c.         Anggaran persediaan.
d.        Anggaran piutang usaha.
Anggaran tersebut dibuat berdasarkan anggaran penjualan yang dibuat oleh manajer pemasaran. Manajer umum bekerja sama dengan manajer keuangan untuk menyusun Anggaran Administrasi Minimum. Setelah itu manajer keuangan bekerja sama dengan manajer lainnya menyusun:
a.         Anggaran laba rugi.
b.        Anggaran neraca.
c.         Anggaran kas.
3.         Penentuan Anggaran
Pada tahap penentuan anggaran semua manajer beserta direksi mengadakan rapat kegiatan:
a.         Perundingan untuk menyesuaikan rencana akhir setiap komponen anggaran.
b.        Koordinasi dan peneelaahan komponen anggaran.
c.         Pengesahan dan pendistribusian.
4.     Pelaksanaan Anggaran
Untuk kepentingan pengawasan setiap manajer membuat laporan realisasi aggaran setelah dianalisis kemudian laporan realisasi anggaran disampaikan pada direksi.

5.                    PEDOMAN PENGADAAN BARANG/JASA UNTUK INSTANSI PEMERINTAH
Tata pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean goverment) adalah seluruh aspek yang terkait dengan kontrol dan pengawasan terhadap kekuasaan yang dimiliki Pemerintah dalam menjalankan fungsinya melalui instansi formal dan informal. Untuk melaksanakan prinsip Good Governance and Clean Goverment, maka instansi pemerintah (termasuk peradilan agama) harus melaksanakan prinsi-prinsip akuntabilitas dan pengelolaan sumber daya secara efisien, serta mewujudkannya dengan tindakan dan peraturan yang baik dan tidak berpihak (independent), serta menjamin terjadinya interaksi anatara pihak terkait (stakeholders) secara adil, transparan, profesional, dan akuntabel.
Kebijakan umum Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bertujuan untuk mensinergikan ketentuan Pengadaan Barang/Jasa dengan kebijakan-kebijakan di sektor lainnya. Langkah kebijakan tersebut secara umum diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Pengadilan Tinggi Agama Bandung sebagai instansi pemerintah di Indonesia yang berada dalam Lembaga Yudikatif di bawah Mahkamah Agung RI berkaitan dengan kegiatan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah berupaya untuk dapat menyelenggarakannya Pengadaan Barang dan Jasa yang efektif, efisien, terbuka dan kompetitif serta sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah bersumber pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010:
1.        Perpres Nomor 54 Tahun 2010
2.        Penjelasan Atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010
3.        Lampiran I – Perencanaan
4.        Lampiran II – Barang
5.        Lampiran III – Pekerjaan Konstruksi
6.        Lampiran IV A – Jasa Konsultasi (Badan Usaha)
7.        Lampiran IV B – Jasa Konsultasi (Perorangan)
8.        Lampiran V – Jasa Lainnya
9.        Lampiran VI – Swakelola

5.1                 Etika Pengadaan
Semua fungsi/pihak yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa wajib mematuhi etika sebagai berikut:
1)        Melaksanakan tugas secara tertib, penuh rasa tanggungjawab, demi kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang/jasa.
2)        Bekerja secara professional dengan menjunjung tinggi kejujuran, kemandirian, dan menjaga informasi yang bersifat rahasia.
3)        Tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan persaingan tidak sehat, penurunan kualitas proses pengadaan. Dan hasil pekerjaan.
4)        Bertanggungjawab terhadap segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kewenangannya.
5)        Mencegah terjadinya pertentangan kepentingan (conflict of interest) pihak-pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan.
6)        Mencegah terjadinya kebocoran keuangan dan kerugian.
7)        Tidak menyalahkan wewenang dan melakukan kegiatan bersama dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain secara langsung atau tidak langsung.
8)        Tidak menerima, menawarkan dan atau berjanji akan member hadiah, imbalan, atau berupa apa saja kepada siapapun yang diketahui atau patut dapat diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa.
9)        Pelaksana pengadaan hal berikut akan membantu dalam mencapai tujuan pengadaan, diantaranya adalah:
a.         Memastikan bahwa proses pengadaan barang/jasa dilaksanakan dengan mengikuti prinsip dasar dan etika pengadaan barang/jasa.
b.        Memastikan bahwa proses pengadaan barang/jasa mengikuti pedoman kebijakan dan prosedur pengadaan barang/jasa dan tidak bertentangan dengan ketentuan lainnya yang lebih tinggi.
c.         Memastikan bahwa pengadaan barang/jasa dilakukan oleh penyedia barang/jasa yang telah dipeninjauan secara administratif, teknikal dan financial serta dapat dipertanggungjawabkan dalam hal biaya dan kualitas.
d.        Memastikan proses pengadaan barang/jasa dilaksanakan secara kompetitif dengan tetap memperhatikan aspek keekonomian dan efisiensi pelaksanaannya.
e.         Menggunakan standar kontrak (term dan condition) yang telah ditetapkan.
f.                Memastikan pengadaan barang/jasa dilaksanakan sesuai dengan perjanjian (kontrak/PO)  yang disetujui antara pelaksana pengadaan dengan penyedia barang/jasa.
g.      Dilarang melakukan pengadaan barang/jasa yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan perundangan yang berlaku.

5.2                 Sanksi Pelanggaran Pengadaan Barang/Jasa untuk Instansi Pemerintah
Proses pengadaan barang/jasa pemerintah pada dasarnya merupakan penyelenggaraan hukum administrasi negara, yang memungkinkan pelaku administrasi negara untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara, serta juga melindungi administrasi negara itu sendiri.
Peran pemerintah yang dilakukan oleh perlengkapan negara atau administrasi negara harus diberi landasan hukum yang mengatur dan melandasi administrasi negara dalam melaksanakan fungsinya. Pengaturan tentang Sanksi dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah diatur di dalam Pasal 118 sampai dengan Pasal 124 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 beserta perubahannya. Di dalam pasal-pasal tersebut mengatur perbuatan dan sanksi yang dapat dikenakan bagi para pihak dalam pelaksaan pengadaan sesuai ranah dan fungsi tanggungjawab masing-masing.
1.        Bentuk-Bentuk Perbuatan yang Dapat Dikenakan Sanksi bagi Penyedia Barang/Jasa:
a.         Berusaha mempengaruhi Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan/pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
b.         Melakukan persekongkolan dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk mengatur harga penawaran diluar prosedur pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, sehingga mengurangi/menghambat/memperkecil dan/atau meniadakan persaingan yang sehat dan/atau merugikan orang lain.
c.         Membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/ atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan Pengadaan Barang/Jasa yang ditentukan dalam Dokumen Pengadaan.
d.        Mengundurkan diri setelah batas akhir pemasukan penawaran atau mengundurkan diri dari pelaksanaan Kontrak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan.
e.         Tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan Kontrak secara bertanggung jawab.
f.          Ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam penggunaan Barang/Jasa produksi dalam negeri.
g.         Terlambat menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Kontrak karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa.
h.         Terlambat menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Kontrak karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa.
2.        Bentuk-bentuk perbuatan yang Dapat Dikenakan Sanksi bagi Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan:
a.         Terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa oleh Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan.
b.         Terjadi kecurangan dalam pengumuman Pengadaan oleh Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan.
3.        Bentuk-Bentuk Perbuatan yang Dapat Dikenakan Sanksi Pejabat Pembuat Komitmen:
a.         Terjadi cidera janji terhadap ketentuan yang termuat dalam Kontrak.
b.         Terjadi keterlambatan pembayaran.
4.        Sanksi bagi Pelanggaran Pengadaan Barang/Jasa diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010. Berikut ini pasal-pasal yang menganturnya:
a.         Anggota ULP/Pejabat Pengadaan
·           Pasal 118 ayat 7: Apabila terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses pengadaan barang/jasa, ULP akan dikenakan sanksi administrasi, dituntut ganti rugi, dan/atau dilaporkan secara pidana.
·           Pasal 123 ayat: Dalam hal terjadi kecurangan pada pengumuman Pengadaan, sanksi diberikan kepada anggota ULP/Pejabat sesuai peraturan perundang-undangan.
b.         Konsultan Perencanaan
·           Pasal 121: Konsultan perencanaan yang tidak cermat dalam pelaksanaan perencanaan hingga mengakibatkan kerugian negara dapat dikenakan sanksi. Sanksi yang diberikan berupa keharusan untuk menyusun kembali perencanaan dengan beban biaya dari konsultan yang bersangkutan, dan/atau tuntutan ganti rugi.
c.         Pejabat Pembuat Komitmen
·           Pasal 122: Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang melanggar ketentuan di dalam kontrak, dapat diminta ganti rugi dengan ketentuan sebagai berikut: besarnya ganti rugi yang dibayar oleh PPK atas keterlambatan pembayaran adalah sebesar bunga terhadap nilai tagihan yang terlambar dibayar. Besar bunga ditentukan berdasarkan tingkat suku bunga yang berlaku pada saat itu menurut ketetapan Bank Indonesia, atau dapat diberikan kompensasi sesuai ketentuan dalam kontrak.
d.        Bila Ditemukan Penyimpangan Prosedur
·           Pasal 117: Dalam hal penyedia barang/jasa ataupun masyarakat menemukan indikasi penyimpangan prosedur, KKN dalam pelaksanaan pengadaan, dan/atau pelanggaran persaingan yang sehat, penyedia ataupun masyarakat dapat mengajukan pengaduan atas proses pemilihan penyedia barang/jasa.

6.                    TINJAUAN TENTANG UUJK NO. 18/1999
Pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk mewujudkan keteraturan dalam tatanan penyelenggaraan jasa konstruksi. Pengaturan tersebut mengatur segala aspek penyelenggaraan jasa konstruksi yang berkaitan dengan pekerjaan/proyek konstruksi, pengembangan usaha jasa konstruksi dan pemberdayaan masyarakat jasa konstruksi.
Salah satu aspek penyelenggaraan jasa konsturksi yang berkaitan dengan  pekerjaan/proyek konstruksi adalah kegiatan pengadaan jasa pemborongan konstruksi. Kegiatan yang ditujukan untuk menyediakan layanan jasa pemborongan konstruksi yang berkompeten dalam mewujudkan hasil pekerjaan kosntruksi yang berkualitas. Pengaturan kegiatan pengadaan jasa pemborongan konstruksi dilakukan agar terdapat kesesuaian antara kompetensi yang dimiliki oleh penyedia jasa pemborongan konstruksi dengan jenis pekerjaan konstruksi.
Secara hukum yuridis, bentuk dari suatu pengaturan dilakukan dengan penetapan berbagai peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan jasa konstruksi yang berlaku di Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Jasa Konstruksi No. 18 tahun 1999 (UUJK No.18/1999). Berdasarkan Undang-Undang ini ditetapkan berbagai peraturan pelaksana yang diterbitkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Keputusan Menteri (Kepmen), dan sebagainya.
Dalam kajian ini akan dikaji beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pengadaan Jasa Pemborongan Konstruksi untuk mewujudkan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas. Ketentuan tersebut antara lain UUJK No. 18/1999 beserta Peraturan Pemerintah yang terkait (PP No. 28/2000, PP No. 29/2000) serta Keppres No. 80/2003 beserta perubahannya (Keppres No. 61/2004, Perpres No. 32/2005, Perpres No. 70/2005, Perpres No. 8/2006, Perpres No. 79/2006, Perpres No. 85/2006, dan Perpres No. 95/2007).
Penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan jasa pemborongan konstruksi sebagai akibat dari pemahaman/persepsi yang keliru terhadap ketentuan yang berlaku dapat berpotensi terjadi dampak dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Oleh karena itu, perlu untuk diketahui ketentuan-ketentuan dalam pengadaan jasa pemborongan konstruksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk jasa konstruksi.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai keserasian antara Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) No. 18/1999 dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 80/2003 dalam Pengadan Jasa Pemborongan Konstruksi dan potensi dampak yang terjadi sebagai akibat dari ketidakserasian peraturan tersebut. Kajian keserasian dilakukan dengan cara membandingkan ketentuan-ketentuan pengadaan jasa pemborongan konstruksi yang diatur dalam UUJK No. 18/1999 dengan Peraturan Pemerintah baik itu PP No. 28/2000 maupun PP No. 29/2000 sebagai penjabaran dari UUJK dan kenyataannya. Dan antara UUJK No. 18/1999, PP No. 28/2000 dan PP No. 29/2000 dengan Keppres No. 80/2003.
Hasil kajian keserasian, menyatakan ketentuan-ketentuan yang serasi antara lain ketentuan mengenai metoda pemilihan penyedia jasa dan kontrak kerja konstruksi dan ketentuan-ketentuan yang tidak serasi yaitu ketentuan mengenai persyaratan penyedia jasa khususnya untuk usaha orang perseorangan, persyaratan tenaga kerja konstruksi untuk bersertifikat, kriteria keadaan tertentu, dokumen pemilihan penyedia jasa dan dokumen penawaran.
Berdasarkan hasil kajian keserasian, dilakukan kajian potensi dampak yang dapat terjadi sebagai akibat dari ketidakserasian peraturan dengan mengidentifikasi kejadian dan dampak yang berpotensi terjadi dengan menelaah dokumen-dokumen terkait dengan ketentuan-ketentuan yang tidak serasi tersebut. Hasil kajian tersebut menunjukan ketentuan yang paling berpotensi terjadi dampak terhadap pekerjaan konstruksi adalah persyaratan tenaga kerja konstruksi. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pelaku konstruksi baik pengguna jasa maupun penyedia jasa dengan mengetahui ketentuan-ketentuan yang harus berlaku pada jasa konstruksi dan dampak yang berpotensi terjadi sebagai akibat dari penyimpangan terhadap ketentuan tersebut.

Undang-undang Jasa Konstruksi No. 18 tahun 1999
UUJK No. 18/1999 merupakan landasan hukum pengaturan jasa konstruksi yang terencana, terarah, dan menyeluruh dalam rangka mengembangkan jasa konstruksi. Dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ini, maka semua penyelenggaraan jasa konstruksi yang dilakukan di Indonesia oleh pengguna jasa dan penyedia jasa, baik nasional maupun asing, wajib mematuhi seluruh ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi (Butir 9 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999).
Sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan mengenai kedudukan Undang-undang, ketentuan dalam UUJK No. 18/1999 bersifat umum dan perlu diturunkan dalam bentuk peraturan pelaksanaan untuk penerapannya dengan tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
Untuk lebih memahami mengenai UUJK No. 18/1999, berikut kajian latar belakang dan struktur isi UUJK No. 18/1999. Sehubungan dengan lingkup penelitian ini, pembahasannya dilakukan dari sudut pandang pengaturan Pengadaan Jasa Pemborongan Konstruksi.

Latar Belakang UUJK No. 18 tahun 1999
Pengaturan jasa konstruksi dalam UUJK No. 18/1999 dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan dan cita-cita luhur jasa konstruksi dimana dengan adanya UUJK No. 18/1999, jasa konstruksi diharapkan dapat:
1.        Berperan dalam pembangunan nasional (disarikan dari ayat 1 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999).
2.       Terwujud kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa (disarikan dari ayat 2 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999).
3.       Terbentuk usaha yang profesional dan kokoh (disarikan dari ayat 2 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999).
4.       Menghasilkan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas dan berfungsi sesuai rencana (disarikan dari ayat 2 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999).

Tujuan Jasa Konstruksi
Adapun Pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk:
1.         Memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas.
2.         Mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatahan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.         Mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi.
4.         Jenis dan badan Usaha Konstruksi.

Peran jasa konstruksi dalam pembangunan nasional yaitu melalui kegiatan pembangunan. Yang mana hasil akhir dari pembangunan adalah bangunan fisik berupa sarana dan prasarana. Peran jasa konstruksi secara langsung dalam pembangunan nasional yaitu:
1.        Mengurangi pengangguran dengan membuka lapangan kerja bagi tenaga kerja konstruksi yaitu tenaga ahli dan tenaga terampil.
2.        Membuka perluang usaha bagi perusahaan yang bergerak di bidang industri barang dan jasa yang berkaitan dengan pekerjaan konstruksi.
3.        Meningkatkan pendapatan negara melalui sektor konstruksi.

Peran dan jasa konstruksi secara tidak langsung adalah mendukung pertumbuhan dan perkembangan bidang ekonomi, sosial dan budaya melalui hasil pembangunan atau pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Pentingnya peran jasa konstruksi dalam pertumbuhan ekonomi negara sehingga dibutuhkan pengaturan dalam bentuk Undang-Undang Jasa Konstruksi untuk mengatur dan memberdayakan jasa konstruksi nasional.
Hal inilah yang menyebabkan pemerintah berinisatıf menyusun konsep awal Undang Undang Jasa Konstruks pads tahun 1988 dan selanjutnya bersama asosiasi jasa konstruksi meneruskan konsep awal Rancangan Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) hingga ditetapkannya UUJK pada tanggal 22 Maret 1999.
Keempat Iatar belakang lahirnya UUJK No. 18/1999 tersebut di atas saling berhubungan satu dengan lainnya dimana hubungan ketergantungan yang dimaksud dapat dagambarkan sebagaı berikut:
Gambar Hubungan Ketergantungan Antara 4 Cita-cita Jasa Konstruksi

Usaha yang profesional dan kokoh serta kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajibannya merupakan syarat untuk menghasilkan konstruksi yang berkualitas dan berfungsi sesuai rencana. Yang pada akhimya, melalui hasil konstruksi tersebut jasa konstruksi dapat berperan dalam pembangunan nasional melalui pertumbuhan dan perkembangan pada bidang ekonomi, sosial dan budaya.
Usaha yang profesional adalah usaha yang memiliki keandalan yang tercermin dalam daya saing dan kemampuan menyelenggarakan pekerjaan konstruksi secara efisien dan efektif serta bertanggungjawab terhadap hasil pekerjaan konstruksi sesuai dengan profesi keahliannya. Usaha yang kokoh adalah bentuk usaha yang memiliki hubungan kerja atau kemitraan yang sinergis dengan penyedia jasa, baik yang berskala besar, menengah dan kecil, maupun yang berkualifikasi umum, spesialis dan terampil (Butir 2 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999). Usaha yang profesional dan kokoh adalah bentuk usaha yang dapat bersaing secara sehat baik di dalam negeri maupun di luar negeri, mampu menyelenggarakan pekerjaan konstruksi secara efisien dan efektif serta bertanggungjawab terhadap hasil pekerjaannya dan mempunyai kemitraan antar penyedia jasa dari berbagai klasifikasi dan kualifikasi usaha secara sinergis Kemitraan antar penyedia jasa dapat berbentuk joint venture dan joint operation. Diharapkan dengan usaha yang profesional dan struktur usaha yang kokoh dapat menghasilkan produk konstruksi berkualitas dan berfungsi sesuai rencana melalui kegiatan atau penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.

Dampak dari usaha yang profesional dan kokoh terhadap hasil pekerjaan konstruksi adalah:
1.        Kemampuan bersaing (daya saing) secara sehat dalam kegiatan pemilihan penyedia jasa yang meliputı penilaian/evaluasi kualifikasi dan penawaran dapat menghasilkan penyedia jasa yang sesuai dengan klasifikasi dan dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan konstruksi sehingga pekerjaan konstruksi yang dihasilkan dapat sesua kualifikast usaha yang kontrak kerja konstruksi.
2.        Tanggung jawab terhadap hasil pekerjaan konstruksi dilandasi oleh prinsip-prinsip keahlian sesuai kaidah keilmuan dan kejujuran intelektual. Jika penyedia jasa yang melaksanakan pekerjaan konstruksi tidak sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi usaha yang dibutuhkan maka penyedia jasa tersebut tidak dapat mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya secara profesional sesuai dengan keahliannya jika terjadi kegagalan bangunan.
3.        Kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa, perusahaan yang melakukan kemitraan adalah perusahaan-perusahaan memiliki daya saing dan kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan konstruksi, yang ingin mengembangkan usaha melalui dukungan modal dan pertanggungan resiko agar dapat memperoleh dan menyelesaikan pekerjaan konstruksi sesuai dengan kontrak kerja konstruksi.

Maka dapat disimpulkan daya saing dan kemampuan menyelesaikan pekerjaan konstruksi sesuai kontrak dan bertanggungjawab terhadap hasil pekerjaan konstruksi dapat meningkatkan kepercayaan antar penyedia usaha sehingga dapat terwujud kemitraan yang sinergis antara penyedia jasa baik yang berskala besar, menengah dan kecil, maupun yang berkualifikasi umum, spesialis dan terampil.




SUMBER

https://www.academia.edu/12324835/PENGADAAN_BARANG_DAN_JASA_PEMERINTAH