4. PENYUSUNAN
ANGGARAN PERUSAHAAN DAN/ATAU ANGGARAN PROYEK PEMBANGUNAN
Penyusunan anggaran merupakan proses
pembuatan rencana kerja dalam rangka waktu satu tahun, yang dinyatakan dalam
satuan moneter dan satuan kuantitatif orang lain. Penyusunan anggaran sering
diartikan sebagai perencanaan laba (proft planing). Dalam perencanaan laba,
manajemen menyusun rencana operasional yang implikasinya dinyatakan dalam
laporan laba rugi jangka pendek dan jangka panjang, neraca kas dan modal kerja yang
diproyeksikan dimasa yang akan datang.
Untuk melukiskan anggaran dan proses
penyusunan anggaran, layaknya sebagai suatu proyek pembangunan gedung berlantai
tiga puluh. Untuk membangun gedung tersebut diperlukan waktu tiga tahun. Gedung
tersebut akan dibangun berdasarkan cetak biru (blue print) dan berdasarkan rencana biaya yang dibuat oleh arsitek.
Setiap bulan dibuat anggaran biaya untuk pedoman dalam pelaksanaan kegiatan
pembangunan setiap bagian gedung tersebut, sehingga keseluruhan pekerjaan
gedung tersebut dapat terlaksana sesuai dengan blue print yang telah dibuat
dengan rencana biaya yang telah disusun sebelum proyek dilaksanakan.
Pengelolaan
perusahaan tidak jauh berbeda dengan pengelolaan suatu proyek pembangunan
gedung yang dijelaskan diatas. Untuk jangka waktu tertentu, misalnya lima
sampai sepuluh tahun, manajemen puncak menetapkan kearah mana perusahaan akan
dijalankan. Manajemen puncak menyusun semacam blue print tentang kondisi yang
akan dicapai perusahaan dalam jangka panjang. Blue print ini berupa program
jangka panjang yaitu pangsa pasar, produk dan teknologi produksi, keuangan,
kepegawaian, citra perusahaan, sistem inforrnasi manajemen, budaya perusahaan
dan lain sebagainya. Manajemen mengalokasikan
sumber daya yang ada
untuk setiap program yang disusunnya. Untuk menjamin terlaksananya program
tersebut, manajemen menyusun anggaran yang berisi rencana kerja tahunan dan
taksiran nilai sumber daya yang diperlukan untuk pelaksanaan rencana kerja
tahunan dan taksiran nilai sumber daya yang diperlukan untuk pelaksanaan
rencana kerja tersebut. Dalam proses penyusunan anggaran tersebut, ditunjuk
manajer yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan rencana kerja dan dialokasikan
berbagai sumber daya yang diperlukan kepada manajer yang bersangkutan. Anggaran
menjamin pelaksanaan rencana kerja dengan biaya yang sesuai dengan yang
direncanakan dalam anggaran. Dengan demikian penyusunan anggaran dimaksudkan
untuk memberikan jaminan pencapaian blue print tentang program jangka
panjang, yang mencakup pangsa pasar, produk dan teknologi produksi,
kepegawaian, keuangan, citra perusahaan, sistem informasi manajemen, budaya
perusahaan dengan biaya sesuai dengan yang dianggarkan sebelumnya.
Anggaran
disusun oleh manajemen dalam jangka waktu satu tahun membawa perusahaan ke
kondisi tertentu yang diinginkan dengan sumber daya yang diperkirakan. Dengan
anggaran, manajemen mengarahkan jalannya perusahaan kesuatu kondisi tertentu. Mungkinkah
perusahaan dijalankan berdasarkan anggaran
yang dibuat tidak berdasarkan program
jangka panjang? Mungkin saja manajemen hanya menyusun anggaran tahunan, tidak
menyusun anggaran jangka panjang. Dalam hal demikian, daIam jangka panjang perusahaan
sebenarnya tidak berjalan kearah manapun. Kalau misalnya setelah lima tahun
perusahaan semacam ini mencapai posisi persaingan sebagai market leader, pencapaian posisi bukan hasil suatu usaha yang
terencana, namun lebih sebagai suatu kebetulan.
Proses penyusunan anggaran merupakan
proses penyusunan rencana jangka pendek, yang dalam perusahaan berorientasi
laba, pemilihan rencana didasarkan atas dampak rencana kerja tersebut terhadap
laba. Oleh karena itu sering sekali proses penyusunan anggaran sering sekali
disebut sebagai penyusunan rencana laba jangka panjang (short-run profit planning). Untuk
memungkinkan manajemen puncak melakukan pemilihan rencana kerja yang berdampak
baik terhadap laba, manajemen menggunakan teknik analisa biaya-volume dan laba.
Dalam analisis biaya-volume dan laba ini, informasi akuntansi diffirensial
memungkinkan manajemen untuk melakukan pemilihan berbagai altematif kerja yang
akan dicantumkan dalam anggaran.
Setelah suatu rencana kerja dipilih
untuk mencapai sasaran anggaran, manajer yang berperan untuk melaksanakan
rencana kerja tersebut memerlukan sumber daya, untuk memungkinkannya mencapai
sasaran anggaran.
4.1
Prinsip
Penyusunan Anggaran Perusahaan
Anggaran
merupakan sejumlah uang yang dihabiskan dalam periode tertentu untuk
melaksanakan suatu program. Tidak ada satu perusahaan pun yang memiliki
anggaran yang tidak terbatas, sehingga proses penyusunan anggaran menjadi hal
penting dalam sebuah proses perencanan. Penganggaran adalah proses untuk
mempersiapkan anggaran.
Aspek anggaran sector public:
·
Perencanaan
·
Pengendalian
·
Akuantabilitas
Tahapan
Penyusunan:
·
Tahap persiapan anggaran
·
Tahapan ratifikasi
·
Tahapan implementasi
·
Tahapan pelaporan dan evaluasi
Proses
penyusunan anggaran di bagi menjadi 2, yakni dari atas ke bawah dan dari bawah
ke atas.
1.
Dari Atas ke Bawah
Merupakan proses
penyusunan anggaran tanpa penentuan tujuan sebelumnya dan tidak berlandaskan
teori yang jelas. Proses penyusunan anggaran dari atas ke bawah ini secara
garis besar berupa pemberian sejumlah uang dari pihak atasan kepada para karyawannya
agar menggunakan uang yang diberikan tersebut untuk menjalankan sebuah program.
Terdapat 5 metode penyusunan anggaran dari atas ke bawah:
a. Metode kemampuan adalah metode dimana
perusahaan menggunakan sejumlah uang yang ada untuk kegiatan operasional dan
produksi tanpa mepertimbangkan efek pengeluaran tersebut.
b. Metode pembagian semena-mena merupakan
proses pendistribusian anggaran yang tidak lebih baik dari metode sebelumnya.
Metode ini tidak berdasar pada teori, tidak memiliki tujuan yang jelas, dan tidak
membuat konsep pendistribusian anggaran dengan baik.
c. Metode persentase penjualan
menggambarkan efek yang terjadi antara kegiatan iklan dan promosi yang
dilakukan dengan persentase peningkatan penjualan di lapangan. Metode ini
mendasarkan pada dua hal, yaitu presentase penjualan dan sejumlah pengembalian
yang diterima dari aktivitas periklanan dan promosi yang dilakukan.
d. Melihat pesaing karena sebenarnya tidak
ada perusahaan yang tidak mau tahu akan keadaan pesaingnya. Tiap perusahaan
akan berusaha untuk melakukan promosi yang lebih baik dari para pesaingnya
dengan tujuan untuk menguasai pangsa pasar.
e. Pengembalian investasi (Return of
investment) merupakan pengembalian keuntungan yang diharapkan oleh perusahaan
terkait dengan sejumlah uang yang telah dikeluarkan untuk iklan dan aktivitas
promosi lainnya. Sesuai dengan arti katanya, investasi berarti penanaman modal
dengan harapan akan adanya pengembalian modal suatu hari
2. Dari Bawah ke Atas
Merupakan proses
penyusunan anggaran berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan
anggaran ditentukan belakangan setelah tujuan selesai disusun.Proses penyusunan
anggaran dari bawah ke atas merupakan komunikasi strategis antara tujuan dengan
anggaran. Terdapat 3 metode dasar proses penyusunan anggaran dari bawah ke
atas, yakni:
1)
Metode tujuan dan tugas (Objective and
task method) dengan menegaskan pada penentuan tujuan dan anggaran yang disusun
secara beriringan. Terdapat 3 langkah yang ditempuh dalam langkah ini, yakni
penentuan tujuan, penentuan strategi dan tugas yang harus dikerjakan, dan
perkiraan anggaran yang dibutuhkan untuk mencapai tugas dan strategi tersebut.
2)
Metode pengembalian berkala (Payout
planning) menggunakan prinsip investasi dimana pengembalian modal diterima
setelah waktu tertentu.Selama tahun pertama, perusahaan akan mengalami rugi
dikarenakan biaya promosi dan iklan masih melebihi keuntungan yang diterima
dari hasil penjualan, Pada tahun kedua, perusahaan akan mencapai titik impas
(break even point) antara biaya promosi dengan keuntungan yang diterima.
Setelah memasuki tahun ketiga, barulah perusahaan akan menerima keuntungan
penjualan. Strategi ini hasilnya dirasakan dalam jangka panjang.
3)
Metode perhitungan kuantitatif (Quantitative models) menggunakan sistem
perhitungan statistik dengan mengolah data yang dimasukkan dalam komputer
dengan teknik analisis regresi berganda (multiple
regression analysis). Metode ini jarang digunakan karena kompleks dalam
pemakaiannya.
Alokasi
Anggaran
Setelah mengetahui
berapa anggaran yang dibutuhkan untuk melaksanakan program, hal selanjutnya
adalah bagaimana mengalokasikan anggaran yang tersedia. Mengalokasikan anggaran
berarti melakukan pembagian dana secara sistematis berdasarkan keseluruhan
anggaran yang dimiliki perusahaan untuk melangsungkan program tersebut. Hal-hal
yang perlu dipertimbangkan dalam pengalokasian anggaran mencakup potensial
pasar, ukuran dan segmen pasar, kebijakan perusahaan, skala ekonomi periklanan,
dan karakteristik perusahaan.
Alokasi anggaran
tersebut juga masuk ke dalam anggaran yang di gunakkan untuk pemilu atau
sesuatu hal yang berhubungan dengan politik,walaupun banyak penyimpangan yang
terjadi.Sehingga hal ini membuktikan bahwa pengalokasian anggaran yang tidak
berjalan sesuai tujuan yang sudah di tentukkan.
4.2
Administrasi
dalam Anggaran
Ada
beberapa tahap yang harus dilalui dalam penyusunan anggaran (budgeting) agar anggaran tersebut dapat digunakan oleh
organisasi atau instansi. Tahapan tersebut antara lain
1. Penentuan Pedoman Anggaran
Anggaran yang akan
dibuat pada tahun akan datang sebaiknya disiapkan disiapkan beberapa bulan
sebelum tahun anggaran berikutnya dimulai. Sebelum penyusunan anggaran,
terlebih dahulu manajemen puncak melakukan dua hal yaitu:
a. Menetapkan rencana besar perusahaan,
seperti tujuan, kebaikan dan asumsi sebagai dasar penyusunan anggaran.
b.
Membentuk panitia penyusun anggaran.
2.
Persiapan Anggaran
Dalam persiapan
anggaran bagian-bagian yang terkait dengan anggaran mengadakan rapat untuk
membuat suatu anggaran, dalam pembuatan suatu anggaran ditentukan juga ramalan
penjualan setelah penyusunan ramalan penjualan bagian pemasaran bekerja sama
dengan manajer umum dan manajer keuangan untuk menyusun anggaran:
a.
Anggaran penjualan.
b.
Anggaran bebas penjualan.
c.
Anggaran piutang usaha.
Setelah itu manajer produksi bekerja
sama dengan manajer keuangan dan umum untuk menyusun:
a.
Anggaran produksi.
b.
Anggaran biaya pabrik.
c.
Anggaran persediaan.
d.
Anggaran piutang usaha.
Anggaran tersebut dibuat berdasarkan
anggaran penjualan yang dibuat oleh manajer pemasaran. Manajer umum bekerja
sama dengan manajer keuangan untuk menyusun Anggaran Administrasi Minimum.
Setelah itu manajer keuangan bekerja sama dengan manajer lainnya menyusun:
a.
Anggaran laba rugi.
b.
Anggaran neraca.
c.
Anggaran kas.
3.
Penentuan Anggaran
Pada tahap penentuan
anggaran semua manajer beserta direksi mengadakan rapat kegiatan:
a.
Perundingan untuk menyesuaikan rencana
akhir setiap komponen anggaran.
b.
Koordinasi
dan peneelaahan komponen anggaran.
c.
Pengesahan dan pendistribusian.
4.
Pelaksanaan Anggaran
Untuk kepentingan
pengawasan setiap manajer membuat laporan realisasi aggaran setelah dianalisis
kemudian laporan realisasi anggaran disampaikan pada direksi.
5. PEDOMAN
PENGADAAN BARANG/JASA UNTUK INSTANSI PEMERINTAH
Tata pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean goverment)
adalah seluruh aspek yang terkait dengan kontrol dan pengawasan terhadap
kekuasaan yang dimiliki Pemerintah dalam menjalankan fungsinya melalui instansi
formal dan informal. Untuk melaksanakan prinsip Good Governance and Clean Goverment, maka instansi pemerintah
(termasuk peradilan agama) harus melaksanakan prinsi-prinsip akuntabilitas dan
pengelolaan sumber daya secara efisien, serta mewujudkannya dengan tindakan dan
peraturan yang baik dan tidak berpihak (independent),
serta menjamin terjadinya interaksi anatara pihak terkait (stakeholders) secara adil, transparan, profesional, dan akuntabel.
Kebijakan umum Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
bertujuan untuk mensinergikan ketentuan Pengadaan Barang/Jasa dengan
kebijakan-kebijakan di sektor lainnya. Langkah kebijakan tersebut secara umum
diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Pengadilan Tinggi Agama Bandung sebagai instansi
pemerintah di Indonesia yang berada dalam Lembaga Yudikatif di bawah Mahkamah
Agung RI berkaitan dengan kegiatan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
berupaya untuk dapat menyelenggarakannya Pengadaan Barang dan Jasa yang
efektif, efisien, terbuka dan kompetitif serta sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
bersumber pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010:
1.
Perpres Nomor 54 Tahun 2010
2.
Penjelasan Atas Perpres Nomor 54 Tahun
2010
3.
Lampiran I – Perencanaan
4.
Lampiran II – Barang
5.
Lampiran III – Pekerjaan Konstruksi
6.
Lampiran IV A – Jasa Konsultasi (Badan
Usaha)
7.
Lampiran IV B – Jasa Konsultasi
(Perorangan)
8.
Lampiran V – Jasa Lainnya
9.
Lampiran VI – Swakelola
5.1
Etika
Pengadaan
Semua fungsi/pihak yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa wajib
mematuhi etika sebagai berikut:
1)
Melaksanakan tugas secara
tertib, penuh rasa tanggungjawab, demi kelancaran dan ketepatan tercapainya
tujuan pengadaan barang/jasa.
2)
Bekerja secara professional
dengan menjunjung tinggi kejujuran, kemandirian, dan menjaga informasi yang
bersifat rahasia.
3)
Tidak saling mempengaruhi
baik langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan persaingan tidak sehat,
penurunan kualitas proses pengadaan. Dan hasil pekerjaan.
4)
Bertanggungjawab terhadap
segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kewenangannya.
5)
Mencegah terjadinya
pertentangan kepentingan (conflict of interest) pihak-pihak yang terlibat
langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan.
6)
Mencegah terjadinya kebocoran
keuangan dan kerugian.
7)
Tidak menyalahkan wewenang
dan melakukan kegiatan bersama dengan tujuan untuk keuntungan pribadi,
golongan, atau pihak lain secara langsung atau tidak langsung.
8)
Tidak menerima, menawarkan
dan atau berjanji akan member hadiah, imbalan, atau berupa apa saja kepada
siapapun yang diketahui atau patut dapat diduga berkaitan dengan pengadaan
barang/jasa.
9)
Pelaksana pengadaan hal
berikut akan membantu dalam mencapai tujuan pengadaan, diantaranya adalah:
a.
Memastikan bahwa proses
pengadaan barang/jasa dilaksanakan dengan mengikuti prinsip dasar dan etika pengadaan
barang/jasa.
b.
Memastikan bahwa proses
pengadaan barang/jasa mengikuti pedoman kebijakan dan prosedur pengadaan
barang/jasa dan tidak bertentangan dengan ketentuan lainnya yang lebih tinggi.
c.
Memastikan bahwa pengadaan
barang/jasa dilakukan oleh penyedia barang/jasa yang telah dipeninjauan secara
administratif, teknikal dan financial serta dapat dipertanggungjawabkan dalam
hal biaya dan kualitas.
d.
Memastikan proses pengadaan
barang/jasa dilaksanakan secara kompetitif dengan tetap memperhatikan aspek keekonomian
dan efisiensi pelaksanaannya.
e.
Menggunakan standar kontrak
(term dan condition) yang telah ditetapkan.
f.
Memastikan pengadaan
barang/jasa dilaksanakan sesuai dengan perjanjian (kontrak/PO) yang disetujui antara pelaksana pengadaan
dengan penyedia barang/jasa.
g. Dilarang melakukan pengadaan barang/jasa yang bertentangan dengan
ketentuan hukum dan perundangan yang berlaku.
5.2
Sanksi Pelanggaran
Pengadaan Barang/Jasa untuk Instansi Pemerintah
Proses pengadaan barang/jasa pemerintah pada
dasarnya merupakan penyelenggaraan hukum administrasi negara, yang memungkinkan
pelaku administrasi negara untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga
terhadap sikap tindak administrasi negara, serta juga melindungi administrasi
negara itu sendiri.
Peran
pemerintah yang dilakukan oleh perlengkapan negara atau administrasi negara
harus diberi landasan hukum yang mengatur dan melandasi administrasi negara
dalam melaksanakan fungsinya. Pengaturan tentang Sanksi
dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah diatur di dalam Pasal 118 sampai dengan
Pasal 124 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 beserta perubahannya. Di dalam
pasal-pasal tersebut mengatur perbuatan dan sanksi yang dapat dikenakan bagi
para pihak dalam pelaksaan pengadaan sesuai ranah dan fungsi tanggungjawab
masing-masing.
1.
Bentuk-Bentuk Perbuatan yang Dapat
Dikenakan Sanksi bagi Penyedia Barang/Jasa:
a.
Berusaha mempengaruhi Kelompok Kerja
ULP/Pejabat Pengadaan/pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun,
baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang
bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam Dokumen
Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
b.
Melakukan persekongkolan dengan Penyedia
Barang/Jasa lain untuk mengatur harga penawaran diluar prosedur pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa, sehingga mengurangi/menghambat/memperkecil dan/atau
meniadakan persaingan yang sehat dan/atau merugikan orang lain.
c.
Membuat dan/atau menyampaikan dokumen
dan/ atau keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan Pengadaan
Barang/Jasa yang ditentukan dalam Dokumen Pengadaan.
d.
Mengundurkan diri setelah batas akhir
pemasukan penawaran atau mengundurkan diri dari pelaksanaan Kontrak dengan
alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima
oleh Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan.
e.
Tidak dapat menyelesaikan pekerjaan
sesuai dengan Kontrak secara bertanggung jawab.
f.
Ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam
penggunaan Barang/Jasa produksi dalam negeri.
g.
Terlambat menyelesaikan pekerjaan dalam
jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Kontrak karena kesalahan Penyedia
Barang/Jasa.
h.
Terlambat menyelesaikan pekerjaan dalam
jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Kontrak karena kesalahan Penyedia
Barang/Jasa.
2.
Bentuk-bentuk perbuatan yang Dapat
Dikenakan Sanksi bagi Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan:
a.
Terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan
dalam proses Pengadaan Barang/Jasa oleh Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan.
b.
Terjadi kecurangan dalam pengumuman
Pengadaan oleh Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan.
3.
Bentuk-Bentuk Perbuatan yang Dapat
Dikenakan Sanksi Pejabat Pembuat Komitmen:
a.
Terjadi cidera janji terhadap ketentuan
yang termuat dalam Kontrak.
b.
Terjadi keterlambatan pembayaran.
4.
Sanksi bagi Pelanggaran Pengadaan
Barang/Jasa diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010. Berikut ini
pasal-pasal yang menganturnya:
a.
Anggota ULP/Pejabat Pengadaan
·
Pasal 118 ayat 7: Apabila terjadi
pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses pengadaan barang/jasa, ULP akan
dikenakan sanksi administrasi, dituntut ganti rugi, dan/atau dilaporkan secara
pidana.
·
Pasal 123 ayat: Dalam hal terjadi
kecurangan pada pengumuman Pengadaan, sanksi diberikan kepada anggota
ULP/Pejabat sesuai peraturan perundang-undangan.
b.
Konsultan
Perencanaan
·
Pasal
121: Konsultan perencanaan yang tidak cermat dalam pelaksanaan perencanaan
hingga mengakibatkan kerugian negara dapat dikenakan sanksi. Sanksi yang
diberikan berupa keharusan untuk menyusun kembali perencanaan dengan beban
biaya dari konsultan yang bersangkutan, dan/atau tuntutan ganti rugi.
c.
Pejabat
Pembuat Komitmen
·
Pasal
122: Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang melanggar ketentuan di dalam kontrak,
dapat diminta ganti rugi dengan ketentuan sebagai berikut: besarnya ganti rugi
yang dibayar oleh PPK atas keterlambatan pembayaran adalah sebesar bunga
terhadap nilai tagihan yang terlambar dibayar. Besar bunga
ditentukan berdasarkan tingkat suku bunga yang berlaku pada saat itu
menurut ketetapan Bank Indonesia, atau dapat diberikan kompensasi sesuai
ketentuan dalam kontrak.
d.
Bila
Ditemukan Penyimpangan Prosedur
·
Pasal
117: Dalam hal penyedia barang/jasa ataupun masyarakat menemukan indikasi
penyimpangan prosedur, KKN dalam pelaksanaan pengadaan, dan/atau pelanggaran
persaingan yang sehat, penyedia ataupun masyarakat dapat mengajukan
pengaduan atas proses pemilihan penyedia barang/jasa.
6. TINJAUAN
TENTANG UUJK NO. 18/1999
Pengaturan
jasa konstruksi bertujuan untuk mewujudkan keteraturan dalam tatanan
penyelenggaraan jasa konstruksi. Pengaturan tersebut mengatur segala aspek
penyelenggaraan jasa konstruksi yang berkaitan dengan pekerjaan/proyek
konstruksi, pengembangan usaha jasa konstruksi dan pemberdayaan masyarakat jasa
konstruksi.
Salah
satu aspek penyelenggaraan jasa konsturksi yang berkaitan dengan pekerjaan/proyek konstruksi adalah kegiatan
pengadaan jasa pemborongan konstruksi. Kegiatan yang ditujukan untuk
menyediakan layanan jasa pemborongan konstruksi yang berkompeten dalam
mewujudkan hasil pekerjaan kosntruksi yang berkualitas. Pengaturan kegiatan
pengadaan jasa pemborongan konstruksi dilakukan agar terdapat kesesuaian antara
kompetensi yang dimiliki oleh penyedia jasa pemborongan konstruksi dengan jenis
pekerjaan konstruksi.
Secara
hukum yuridis, bentuk dari suatu pengaturan dilakukan dengan penetapan berbagai
peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan jasa konstruksi yang
berlaku di Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Jasa Konstruksi No. 18 tahun
1999 (UUJK No.18/1999). Berdasarkan Undang-Undang ini ditetapkan berbagai
peraturan pelaksana yang diterbitkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP),
Keputusan Presiden (Keppres), Keputusan Menteri (Kepmen), dan sebagainya.
Dalam
kajian ini akan dikaji beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang Pengadaan Jasa Pemborongan Konstruksi untuk mewujudkan hasil
pekerjaan konstruksi yang berkualitas. Ketentuan tersebut antara lain UUJK No.
18/1999 beserta Peraturan Pemerintah yang terkait (PP No. 28/2000, PP No.
29/2000) serta Keppres No. 80/2003 beserta perubahannya (Keppres No. 61/2004,
Perpres No. 32/2005, Perpres No. 70/2005, Perpres No. 8/2006, Perpres No.
79/2006, Perpres No. 85/2006, dan Perpres No. 95/2007).
Penyimpangan dalam pelaksanaan
pengadaan jasa pemborongan konstruksi sebagai akibat dari pemahaman/persepsi
yang keliru terhadap ketentuan yang berlaku dapat berpotensi terjadi dampak
dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Oleh karena itu, perlu untuk
diketahui ketentuan-ketentuan dalam pengadaan jasa pemborongan konstruksi yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk jasa konstruksi.
Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan gambaran mengenai keserasian antara Undang-Undang Jasa Konstruksi
(UUJK) No. 18/1999 dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 80/2003 dalam
Pengadan Jasa Pemborongan Konstruksi dan potensi dampak yang terjadi sebagai
akibat dari ketidakserasian peraturan tersebut. Kajian keserasian dilakukan
dengan cara membandingkan ketentuan-ketentuan pengadaan jasa pemborongan
konstruksi yang diatur dalam UUJK No. 18/1999 dengan Peraturan Pemerintah baik
itu PP No. 28/2000 maupun PP No. 29/2000 sebagai penjabaran dari UUJK dan
kenyataannya. Dan antara UUJK No. 18/1999, PP No. 28/2000 dan PP No. 29/2000
dengan Keppres No. 80/2003.
Hasil kajian keserasian, menyatakan
ketentuan-ketentuan yang serasi antara lain ketentuan mengenai metoda pemilihan
penyedia jasa dan kontrak kerja konstruksi dan ketentuan-ketentuan yang tidak
serasi yaitu ketentuan mengenai persyaratan penyedia jasa khususnya untuk usaha
orang perseorangan, persyaratan tenaga kerja konstruksi untuk bersertifikat,
kriteria keadaan tertentu, dokumen pemilihan penyedia jasa dan dokumen
penawaran.
Berdasarkan hasil kajian keserasian,
dilakukan kajian potensi dampak yang dapat terjadi sebagai akibat dari
ketidakserasian peraturan dengan mengidentifikasi kejadian dan dampak yang
berpotensi terjadi dengan menelaah dokumen-dokumen terkait dengan
ketentuan-ketentuan yang tidak serasi tersebut. Hasil kajian tersebut
menunjukan ketentuan yang paling berpotensi terjadi dampak terhadap pekerjaan
konstruksi adalah persyaratan tenaga kerja konstruksi. Hasil kajian ini
diharapkan dapat memberi masukan bagi pelaku konstruksi baik pengguna jasa
maupun penyedia jasa dengan mengetahui ketentuan-ketentuan yang harus berlaku
pada jasa konstruksi dan dampak yang berpotensi terjadi sebagai akibat dari
penyimpangan terhadap ketentuan tersebut.
Undang-undang
Jasa Konstruksi No. 18 tahun 1999
UUJK No. 18/1999 merupakan landasan hukum pengaturan jasa
konstruksi yang terencana, terarah, dan menyeluruh dalam rangka mengembangkan
jasa konstruksi. Dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ini, maka semua
penyelenggaraan jasa konstruksi yang dilakukan di Indonesia oleh pengguna jasa
dan penyedia jasa, baik nasional maupun asing, wajib mematuhi seluruh ketentuan
yang tercantum dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi (Butir 9 Penjelasan
Bab I Umum UUJK No. 18/1999).
Sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan mengenai
kedudukan Undang-undang, ketentuan dalam UUJK No. 18/1999 bersifat umum dan
perlu diturunkan dalam bentuk peraturan pelaksanaan untuk penerapannya dengan
tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
Untuk lebih memahami mengenai UUJK No. 18/1999, berikut
kajian latar belakang dan struktur isi UUJK No. 18/1999. Sehubungan dengan
lingkup penelitian ini, pembahasannya dilakukan dari sudut pandang pengaturan
Pengadaan Jasa Pemborongan Konstruksi.
Latar Belakang UUJK No. 18 tahun
1999
Pengaturan
jasa konstruksi dalam UUJK No. 18/1999 dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan
dan cita-cita luhur jasa konstruksi dimana dengan adanya UUJK No. 18/1999, jasa
konstruksi diharapkan dapat:
1.
Berperan
dalam pembangunan nasional (disarikan dari ayat 1 Penjelasan Bab I Umum UUJK
No. 18/1999).
2.
Terwujud
kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa (disarikan dari
ayat 2 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999).
3.
Terbentuk usaha
yang profesional dan kokoh (disarikan dari ayat 2 Penjelasan Bab I Umum UUJK
No. 18/1999).
4.
Menghasilkan
hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas dan berfungsi sesuai rencana
(disarikan dari ayat 2 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999).
Tujuan
Jasa Konstruksi
Adapun Pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk:
1.
Memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa
konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing
tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas.
2.
Mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi
yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam
hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatahan pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3.
Mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa
konstruksi.
4.
Jenis dan badan Usaha Konstruksi.
Peran jasa konstruksi dalam
pembangunan nasional yaitu melalui kegiatan pembangunan. Yang mana hasil akhir
dari pembangunan adalah bangunan fisik berupa sarana dan prasarana. Peran jasa
konstruksi secara langsung dalam pembangunan nasional yaitu:
1.
Mengurangi pengangguran dengan membuka lapangan kerja
bagi tenaga kerja konstruksi yaitu tenaga ahli dan tenaga terampil.
2.
Membuka perluang usaha bagi perusahaan yang bergerak
di bidang industri barang dan jasa yang berkaitan dengan pekerjaan konstruksi.
3.
Meningkatkan pendapatan negara melalui sektor
konstruksi.
Peran dan
jasa konstruksi secara tidak langsung adalah mendukung pertumbuhan dan
perkembangan bidang ekonomi, sosial dan budaya melalui hasil pembangunan atau
pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Pentingnya peran jasa konstruksi dalam
pertumbuhan ekonomi negara sehingga dibutuhkan pengaturan dalam bentuk
Undang-Undang Jasa Konstruksi untuk mengatur dan memberdayakan jasa konstruksi
nasional.
Hal inilah
yang menyebabkan pemerintah berinisatıf menyusun konsep awal Undang Undang Jasa
Konstruks pads tahun 1988 dan selanjutnya bersama asosiasi jasa konstruksi meneruskan
konsep awal Rancangan Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) hingga ditetapkannya
UUJK pada tanggal 22 Maret 1999.
Keempat Iatar belakang lahirnya UUJK
No. 18/1999 tersebut di atas saling berhubungan satu dengan lainnya dimana
hubungan ketergantungan yang dimaksud dapat dagambarkan sebagaı berikut:
Gambar Hubungan Ketergantungan Antara 4 Cita-cita Jasa Konstruksi
Usaha yang
profesional dan kokoh serta kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan
penyedia jasa dalam hak dan kewajibannya merupakan syarat untuk menghasilkan
konstruksi yang berkualitas dan berfungsi sesuai rencana. Yang pada akhimya,
melalui hasil konstruksi tersebut jasa konstruksi dapat berperan dalam
pembangunan nasional melalui pertumbuhan dan perkembangan pada bidang ekonomi,
sosial dan budaya.
Usaha yang
profesional adalah usaha yang memiliki keandalan yang tercermin dalam daya
saing dan kemampuan menyelenggarakan pekerjaan konstruksi secara efisien dan
efektif serta bertanggungjawab terhadap hasil pekerjaan konstruksi sesuai
dengan profesi keahliannya. Usaha yang kokoh adalah bentuk usaha yang memiliki
hubungan kerja atau kemitraan yang sinergis dengan penyedia jasa, baik yang
berskala besar, menengah dan kecil, maupun yang berkualifikasi umum, spesialis
dan terampil (Butir 2 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999). Usaha yang
profesional dan kokoh adalah bentuk usaha yang dapat bersaing secara sehat baik
di dalam negeri maupun di luar negeri, mampu menyelenggarakan pekerjaan
konstruksi secara efisien dan efektif serta bertanggungjawab terhadap hasil
pekerjaannya dan mempunyai kemitraan antar penyedia jasa dari berbagai
klasifikasi dan kualifikasi usaha secara sinergis Kemitraan antar penyedia jasa
dapat berbentuk joint venture dan joint operation. Diharapkan dengan usaha
yang profesional dan struktur usaha yang kokoh dapat menghasilkan produk
konstruksi berkualitas dan berfungsi sesuai rencana melalui kegiatan atau
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Dampak dari usaha yang profesional
dan kokoh terhadap hasil pekerjaan konstruksi adalah:
1.
Kemampuan bersaing (daya saing) secara sehat dalam
kegiatan pemilihan penyedia jasa yang meliputı penilaian/evaluasi kualifikasi
dan penawaran dapat menghasilkan penyedia jasa yang sesuai dengan klasifikasi
dan dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan konstruksi sehingga pekerjaan
konstruksi yang dihasilkan dapat sesua kualifikast usaha yang kontrak kerja
konstruksi.
2.
Tanggung jawab terhadap hasil pekerjaan konstruksi
dilandasi oleh prinsip-prinsip keahlian sesuai kaidah keilmuan dan kejujuran
intelektual. Jika penyedia jasa yang melaksanakan pekerjaan konstruksi tidak
sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi usaha yang dibutuhkan maka penyedia
jasa tersebut tidak dapat mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya secara
profesional sesuai dengan keahliannya jika terjadi kegagalan bangunan.
3.
Kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa,
perusahaan yang melakukan kemitraan adalah perusahaan-perusahaan memiliki daya
saing dan kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan konstruksi, yang ingin
mengembangkan usaha melalui dukungan modal dan pertanggungan resiko agar dapat
memperoleh dan menyelesaikan pekerjaan konstruksi sesuai dengan kontrak kerja
konstruksi.
Maka dapat disimpulkan daya saing dan kemampuan
menyelesaikan pekerjaan konstruksi sesuai kontrak dan bertanggungjawab terhadap
hasil pekerjaan konstruksi dapat meningkatkan kepercayaan antar penyedia usaha
sehingga dapat terwujud kemitraan yang sinergis antara penyedia jasa baik yang
berskala besar, menengah dan kecil, maupun yang berkualifikasi umum, spesialis
dan terampil.
SUMBER
https://www.academia.edu/12324835/PENGADAAN_BARANG_DAN_JASA_PEMERINTAH